TINJAUAN TEORI
A. KONSEP DASAR
I. Pengertian
Hirschprung adalah ketiadaan kongenital ganglion otonom yang mempersarafi pleksus mienterikus ditaut anorektum dan seluruh atau sebagian rektum dan kolon ganglion otonom ke pleksus mienterikus secara normal merangsang motilitas dan memastikan penyaluran tinja. Pada penyakit hirschsprung, tinja menumpuk di usus. (Corwin, J, EL, Zabeth. 2000 : 533).
Penyakit hirschsprung adalah suatu kelainan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada usus, dapat dari kolon sampai pada usus halus. (Ngastiyah, 1997 : 138).
Penyakit hirschsprung adalah anomali kongenital yang mengakibatkan obstruksi mekanik karena ketidak adekuatan motilitas sebagian dari usus. (Donna L. Wong, 2003 : 507).
II. Macam-macam Penyakit Hirschprung
Berdasarkan panjang segmen yang terkena, dapat dibedakan 2 tipe yaitu :
a. Penyakit Hirschprung segmen pendek
Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid; ini merupakan 70% dari kasus penyakit Hirschprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding anak perempuan.
b. Penyakit Hirschprung segmen panjang
Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon atau usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki maupun prempuan.
(Ngastiyah, 1997 : 138)
III. Etiologi
a. Mungkin karena adanya kegagalan sel-sel ”Neural Crest” ambrional yang berimigrasi ke dalam dinding usus atau kegagalan pleksus mencenterikus dan submukoisa untuk berkembang ke arah kranio kaudal di dalam dinding usus.
b. Disebabkan oleh tidak adanya sel ganglion para simpatis dari pleksus Auerbach di kolon.
c. Sebagian besar segmen yang aganglionik mengenai rectum dan bagian bawah kolon sigmoid dan terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada kolon.
(Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985 : 1134)
d. Sering terjadi pada anak dengan ”Down Syndrome”.
e. Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi kraniokaudal pada nyenterik dan submukosa dinding pleksus.
(Suriadi, 2001 : 242).
IV. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala setelah bayi lahir
1. Tidak ada pengeluaran mekonium (keterlambatan > 24 jam)
2. Muntah berwarna hijau
3. Distensi abdomen, konstipasi.
4. Diare yang berlebihan yang paling menonjol dengan pengeluaran tinja / pengeluaran gas yang banyak.
Gejala pada anak yang lebih besar à karena gejala tidak jelas pada waktu lahir.
1. Riwayat adanya obstipasi pada waktu lahir
2. Distensi abdomen bertambah
3. Serangan konstipasi dan diare terjadi selang-seling
4. Terganggu tumbang karena sering diare.
5. Feses bentuk cair, butir-butir dan seperti pita.
6. Perut besar dan membuncit.
V. Patofisiologi
Tidak adanya sel-sel ganglion
Dalam rectum atau bagian rektosigmoid kolon
Abnormalan / tidak adanya peristalsis serta tidak adanya
Evakuasi usus spontan
Sfingter rectum tidak dapat berelaksasi
Mencegah keluarnya feses secara normal
Isi usus terdorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul
Di daerah tersebut
Dilatasi bagian usus yang proksimal
Terhadap daerah tersebut
(Betz. 2002 : 196)
VI. Manifestasi Klinis
a. Kegagalan lewatnya mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan.
b. Konstipasi kronik mulai dari bulan pertama kehidupan dengan terlihat tinja seperti pita.
c. Obstruksi usus dalam periode neonatal.
d. Nyeri abdomen dan distensi.
e. Gangguan pertumbuhan.
(Suriadi, 2001 : 242)
f. Obstruk total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evaluai mekonium.
g. Keterlambatan evaluasi mekonium diikuti obstruksi periodic yang membaik secara spontan maupun dengan edema.
h. Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut.
i. Konstruksi ringan, enterokolitis dengan diare, distensi abdomen dan demam. Diare berbau busuk dapat menjadi satu-satunya gejala.
j. Gejala hanya konstipasi ringan.
(Mansjoer, 2000 : 380)
· Masa Neonatal :
a. Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam setelah lahir.
b. Muntah berisi empedu.
c. Enggan minum.
d. Distensi abdomen.
· Masa bayi dan anak-anak :
a. Konstipasi
b. Diare berulang
c. Tinja seperti pita, berbau busuk
d. Distensi abdomen
e. Gagal tumbuh
(Betz, 2002 : 197)
VII. Komplikasi
a. Gawat pernapasan (akut)
b. Enterokolitis (akut)
c. Striktura ani (pasca bedah)
d. Inkontinensia (jangka panjang)
(Betz, 2002 : 197)
e. Obstruksi usus
f. Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit
g. Konstipasi
(Suriadi, 2001 : 241)
VIII. Pemeriksaan Diagnostik
a. Biopsi isap, yakni mengambil mukosa dan submukosa dengan alat penghisap and mencari sel ganglion pada daerah submukosa.
b. Biopsy otot rectum, yakni pengambilan lapisan otot rectum, dilakukan dibawah narkos. Pemeriksaan ini bersifat traumatic.
c. Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin dari hasil biopsy asap. Pada penyakit ini klhas terdapat peningkatan aktivitas enzim asetikolin enterase.
d. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsy usus.
(Ngatsiyah, 1997 : 139)
e. Foto abdomen ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.
f. Enema barium ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.
g. Biopsi rectal ; untuk mendeteksi ada tidaknya sel ganglion.
h. Manometri anorektal ; untuk mencatat respons refleks sfingter interna dan eksterna.
(Betz, 2002 : 197).
IX. Penatalaksanaan
Pembedahan hirschsprung dilakukan dalam 2 tahap, yaitu dilakukan kolostomi loop atau double-barrel sehingga tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan hipertropi dapat kembali normal (memerlukan waktu 3-4 bulan), lalu dilanjutkan dengan 1 dari 3 prosedur berikut :
1. Prosedur duhamel : Penarikan kolon normal kearah bawah dan menganastomosiskannya dibelakang usus aganglionik.
2. Prosedur swenson : Dilakukan anastomosis end to end pada kolon berganglion dengan saluran anal yang dibatasi.
3. Prosedur saave : Dinding otot dari segmen rektum dibiarkan tetap utuh. Kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus.
a. Intervensi bedah
Ini terdiri dari pengangkatan ari segmen usus aganglionik yang mengalami obstruksi. Pembedahan rekto-sigmoidektomi dilakukan teknik pull-through dapat dicapai dengan prosedur tahap pertama, tahap kedua atau ketiga, rekto sigmoidoskopi di dahului oleh suatu kolostomi. Kolostomi ditutup dalam prosedur kedua.
b. Persiapan prabedah
1. Lavase kolon
2. Antibiotika
3. Infuse intravena
4. Tuba nasogastrik
5. Perawatan prabedah rutin
c. Pelaksanaan pasca bedah
1. Perawatan luka kolostomi
2. Perawatan kolostomi
3. Observasi distensi abdomen, fungsi kolostomi, peritonitis dan peningkatan suhu.
4. Dukungan orangtua, bahkan kolostomi sementara sukar untuk diterima. Orangtua harus belajar bagaimana menangani anak dengan suatu kolostomi. Observasi apa yang perlu dilakukan bagaimana membersihkan stoma dan bagaimana memakaikan kantong kolostomi.
(Betz, 2002 : 198)
B. ASUHAN KEPERAWATAN HIRSCHSPRUNG
I. Pengkajian
1. Informasi identitas/data dasar meliputi, nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat, tanggal pengkajian, pemberi informasi.
2. Keluhan utama
Masalah yang dirasakan klien yang sangat mengganggu pada saat dilakukan pengkajian, pada klien Hirschsprung misalnya, sulit BAB, distensi abdomen, kembung, muntah.
3. Riwayat kesehatan sekarang
Yang diperhatikan adanya keluhan mekonium keluar setelah 24 jam setelah lahir, distensi abdomen dan muntah hijau atau fekal.
Tanyakan sudah berapa lama gejala dirasakan pasien dan tanyakan bagaimana upaya klien mengatasi masalah tersebut.
4. Riwayat kesehatan masa lalu
Apakah sebelumnya klien pernah melakukan operasi, riwayat kehamilan, persalinan dan kelahiran, riwayat alergi, imunisasi.
5. Riwayat Nutrisi meliputi : masukan diet anak dan pola makan anak.
6. Riwayat psikologis
Bagaimana perasaan klien terhadap kelainan yang diderita apakah ada perasaan rendah diri atau bagaimana cara klien mengekspresikannya.
7. Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan pada orang tua apakah ada anggota keluarga yang lain yang menderita Hirschsprung.
8. Riwayat sosial
Apakah ada pendakan secara verbal atau tidak adekuatnya dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain.
9. Riwayat tumbuh kembang
Tanyakan sejak kapan, berapa lama klien merasakan sudah BAB.
10. Riwayat kebiasaan sehari-hari
Meliputi – kebutuhan nutrisi, istirahat dan aktifitas.
II. Pemeriksaan Fisik
1. Sistem integumen
Kebersihan kulit mulai dari kepala maupun tubuh, pada palpasi dapat dilihat capilary refil, warna kulit, edema kulit.
2. Sistem respirasi
Kaji apakah ada kesulitan bernapas, frekuensi pernapasan
3. Sistem kardiovaskuler
Kaji adanya kelainan bunyi jantung (mur-mur, gallop), irama denyut nadi apikal, frekuensi denyut nadi / apikal.
4. Sistem penglihatan
Kaji adanya konjungtivitis, rinitis pada mata
5. Sistem Gastrointestinal
Kaji pada bagian abdomen palpasi adanya nyeri, auskultasi bising usus, adanya kembung pada abdomen, adanya distensi abdomen, muntah (frekuensi dan karakteristik muntah) adanya keram, tendernes.
III. Diagnosa Keperawatan
Pre operasi Hirschsprung
1. Risiko tinggi cedera berhubungan dengan motilitas usus
2. Kecemasan berhubungan dengan tindakan prosedur dan kurang pengetahuan.
Post operasi Hirschsprung
1. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan masukan cairan secara oral akibat prosedur medis.
2. Nyeri berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan, trauma pembedahan.
3. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemasangan prosedur invasif / pembedahan : stoma, aliran feses dan flatus.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan (pembuatan stoma)
5. Gangguan penatalaksanaan, perawatan dirumah berhubungan dengan kurangnya informasi.
6. Perubahan eliminasi bowel b.d efek anestesia dan manipulasi operasi terhadap peristaltik
IV. Rencana Keperawatan
Pre operasi Hirschsprung
Dx 1 : Risiko tinggi cedera berhubungan dengan penurunan motilitas usus.
Intervensi : - Beri enema salin sesuai kebutuhan
- Beri antibiotik sistemik dan irigasi kolon antibiotik sesuai ketentuan.
- Beri cairan dan elektrolit sesuai ketentuan
- Ukur dan catat lingkar abdomen
Dx 2 : Kecemasan berhubungan dengan tindakan prosedur dan kurang pengetahuan.
Intervensi : - Jelaskan semua prosedur pre op
- Bina hubungan saling percaya dengan anak dan keluarga.
- Mendampingi keluarga dan anak sesering mungkin dan tidak terlalu lama.
Post operasi Hirschsprung
Dx 1 : Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan masukan cairan secara oral akibat prosedur mendis.
Intervensi : - Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran
- Ukur tanda-tanda vital, adanya Hipotensi, takikardi, turgor kulit dan membran mukosa.
- Pantau suhu kulit, palpasi denyut perifer.
- Kolaborasi pemberian cairan parenteral (IV) sesuai indikasi.
Dx 2 : Nyeri berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan, trauma dan pembedahan.
Intervensi : - Observasi rasa sakit secara reguler (misal setiap 2 jam sekali), catat karakteristik, lokasi dan intensitas (skala 0-10).
- Ukur tanda-tanda vital, observasi adanya takikardi hipertensi dan peningkatan pernafasan.
- Observasi ketidaknyamanan yang mungkin selain dari prosedur operasi.
Dx 3 : Resiko terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemasangan prosedur invasif / pembedahan : stoma, aliran feses, dan flatus.
Intervensi : - Gunakan teknik aseptik yang ketat dalam melakukan tindakan keperawatan : perawatan kolostomi.
- Periksa luka secara teratur, catat karakteristik luka dan intensitas kulit.
- Lihat stoma / area kulit peristaltik pada tiap penggantian kantung berisikan dengan air, keringkan, catat adanya iritasi / kemerahan.
- Pertahankan kebersihan / mengeringkan area stoma untuk membantu pencegahan kulit.
- Observasi jumlah dan karakteristik cairan pada luka.
Dx 4 : Risiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan (pembuatan stoma) aliran material yang keluar.
Intervensi : - Gunakan teknik cuci tangan yang benar.
- Lakukan dan pertahankan kesterilan semua peralatan.
- Pantau hasil pemeriksaan laboratorium.
- Observasi tanda-tanda infeksi pada area luka setiap perawatan.
Dx. 5 : Gangguan penatalaksanaan, perawatan dirumah berhubungan dengan kurangnya informasi.
Intervensi : - Observasi kemampuan fisik dan emosi orang tua.
- Berikan pendidikan kesehatan pada keluarga mengenai penatalaksanaan keperawatan.
- Anjurkan keluarga untuk mengungkapkan kekhawatiran tentang hasil pembedahan.
Dx. 5 : Perubahan eliminasi bowel b.d efek anestesia dan manipulasi operasi terhadap peristaltik.
Intervensi : - Pastikan kebiasaan eliminasi urine.
- Kaji bising usus dan pantau gerakan usus termasuk frekuensi
- Pantau masukan dan haluaran serta berat badan
- Dorong masukan cairan adekuat
- Berikan makan sedikit tapi sering
V. Evaluasi
Pre operasi Hirschsprung
1. Cedera tidak terjadi
2. Lemas dapat teratasi
Post operasi Hirschsprung
1. Kebutuhan cairan dapat terpenuhi
2. Rasa nyeri dapat berkurang atau teratasi
3. Integritas kulit baik
4. Infeksi dapat teratasi dan tidak terjadi
5. Penatalaksanaan perawatan dirumah dapat dilakukan dengan tepat.
6. Perubahan eliminasi bowel kembali normal
DAFTAR PUSTAKA
Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi ke-3. Jakarta : EGC.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC
Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta : Sagung Seto.
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik.Sri Kurnianingsih (Fd), Monica Ester (Alih bahasa) edisi – 4 Jakarta : EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Alih bahasa : Brahm U Pendit. Jakarta : EGC.
Carpenito , Lynda juall. 1997 . Buku saku Diagnosa Keperawatan.Edisi ke -^. Jakarta : EGC
Staf Pengajar Ilmu kesehatan Anak . 1991. Ilmu Kesehatan Anak . Edisi Ke-2 . Jakarta : FKUI .
Mansjoer , Arif . 2000 . Kapita Selekta Kedokteran .Edisi Ke-3 . Jakarta : Media Aesulapius FKUI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar